BAB I PENDAHULUAN
1.
Pengertian Hukum Perdata
Apa yang dimaksud dengan hukum perdata? Sebelum menjawab
pertanyaan ini, kita harus lebih dahuku membedakan hukum perdata itu atas dua
macam, yaitu hukum perdata materil dan
hukum perdata formil. Hukum perdata
materil lazim disebut hukum perdata saja,
sedangkan hukum perdata formil lazim disebut hukum acara perdata. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum
perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang
berbeda dengan hukum publik sebagai hukum yang mengatur
kepentingan umum (masyarakat).
Secara umum dapat kita simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata
ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang
yang lain di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi).
Kendatipun hukum perdata mengatur
kepentingan perseorangan, tidak berarti semua
hukum perdata tersebut secara murni
mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena perkembangan masyarakat banyak
bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai
sedemikian rupa oleh hukum public, misalnya bidang perkawinan, perburuhan,
dan sebagainya.
Hukum perdata ini ada yang tertulis
dan ada yang tidak tertulis. Hukum perdata yang tertulis ialah hukum perdata
yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum perdata
yang tidak tertulis ialah Hukum adat.
2. Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis). Masing-masing golongan
penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang
sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia sebenarnya sedah
berlangsung lama.
Keanekaragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi
penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga golongan yaitu :
a.
Golongan Eropa, ialah: (a) semua orang Belanda, (b)
semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal
dari tempat lain yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada
pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum belanda, dan (e) anak sah
atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub. b dan c yang
lahir di Hindia Belanda.
b.
Golongan Bumiputra, ialah semua orang yang termasuk
rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang
semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat
Indonesia asli.
c.
Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan
Eropa dan golongan Bumiputra.
Dalam Pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di
negeri Belanda (yaitu hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan
lainnya (Bumiputra dan Timur Asing) berlaku hukum adatnya masing-masing. sejak
tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing
selain hukum keluarga dan hukum waris.
Beberapa peraturan yang secara
khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia asli (Bumiputra) seperti
ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74),
ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia yang disingkat dengan IMA (Stb. 1939
No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb. 1939
No. 570 jo. No. 717).
Peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan misalnya
undang-undang hak pengarang (Auteurswet tahun
1912), Peraturan umum tentang koperasi (Stb. 1933 No. 108), Woeker ordonansi
(Stb. 1938 No. 523), dan ordonansi tentang Pengangkutan di Udara (Stb. 1938 No.
100). Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri, yaitu penundukan
kepada seluruh hukum perdata Eropa
(yang diatur dalam Pasal 18-25), penundukan diri pada perbuatan hukum tertentu (yang diatur dalam Pasal 29). Lembaga
penundukan diri yang diatur dalam Stb. 1917 No. 12 ini sebenarnya lebih ditujukan
bagi golongan Bumiputra, sedangkan bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak
relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79
tanggal 8 Desember 1855 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No.
556 tanggal 9 Desember 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925.
3. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropa
Dalam Undang-undang Dasar 1945, konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar
Sementara 1950 ada dimuat aturan peralihan. Salah satu maksud diadakannya aturan
peralihan ini ialah untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan
perundang-undangan yang ada pada saat undang-undang dasar tersebut
diberlakukan.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menentukan :
“Segala badan Negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini”.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden megnadakan dan mengumumkan
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945. Dalam penjelasan Peraturan pemerintah
No. 2 Tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakannya Peraturan Pemerintah
tersebut adalah untuk lebih menegaskan
berlakunya Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Yang
dipertahankan oleh aturan peralihan bukan IS sebagai kodifikasi, tetapi
hanyalah aturan-aturannya yang lepas dari ikatannya sebagai kodifikasinya,
sepanjang aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian yang menjadi dasar berlakunya hukum perdata barat itu hingga
sekarang adalah aturan-aturan peralihan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar
1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara 1950.
4. Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata (BW)
Sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum perdata (BW) tidak bisa
terpisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Belanda. Dan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum perdata Belanda
tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis.
5. Kedudukan BW pada Waktu Sekarang
Bagaimana kedudukan BW (Burgerlijk
Wetboek) pada waktu sekarang ? Apakah BW tersebut masih bisa dianggap
berlaku sebagai sebuah kitab undang-undang (kodifikasi) di negara Republik
Indonesia yang sudah merdeka ini?
Sahardjo, S.H. tersebut, Prof. Mahadi,
S.H. berpendapat sebagai berikut di bawah ini:
a. BW sebagai kodifikasi sudah tidak
berlaku lagi;
b. Yang masih berlaku ialah
aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana
kemerdekaan;
c. Diserahkan kepada yurisprudensi dan
doktrin untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang
tidak bisa dipakai lagi.
d. Tidak setuju suatu tindakan
legislative untuk menyatakan tertulis. Tegasnya, tidak setuju, untuk menjadikan
aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat).
Kemudian gagasan Sahardjo yang
menganggap BW bukan lagi sebagai wetboek, tetapi rechtboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang
LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam prasarannya yang berjudul: “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”.
6. Bidang-bidang Hukum Perdata dan Sistimatiknya
Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan lazimnya dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1. Hukum perorangan/badan pribadi (personenrecht);
2. Hukum
Keluarga (familierecht);
3. Hukum harta kekayaan (vermogenrecht);
4. Hukum waris (erfrecht).
Hukum perorangan/badan pribadi memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang
seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum), tentang
umur, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal (domisili) dan
sebagainya.
Hukum keluarga memuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena
hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang
tua dan anak, perwalian, curatele, dan sebagainya.
Hukum harta kekayaan memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukumk seseorang
dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian, milik, gadai dan sebagainya.
Hukum waris memuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum
yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup (ahli waris).
7. Bagian-bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti mulai diberlakukan pada tangga 1
Mei 1848, tetapi beberapa bagian ketentuan yang terdapat di dalamnya sudah
tidak berlaku lagi. Undang-undang nasional di lapangan perdata yang pertama
kali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam
BW adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan nama
singkatan resminya Undnag-undang Pokok
Agraria (UUPA). Dengan berlakunya
UUPA itu, maka berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen
Agraria tanggal 26 Februari 1964 No. Unda 10/3/29 dapat dirinci atas 3 macam :
a. Ada pasal-pasal yang masih berlaku
penuh karena tidak mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
b. Ada pasal-pasal yang menjadi tidak
berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu mengatur tentang bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c. Ada pasal-pasal yang masih berlaku
tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi
sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yagn terkandung di dalamnya dan
masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.
8. Hukum Perdata yang Bersifat Pelengkap dan Bersikap Memaksa
Menurut ketentuan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata
dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang
boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan,
peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang
berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya.
Misalnya dalam Pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus
terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika
tentang itu tidak telah ditentukan lain. Peraturan hukum ini bersifat
pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu
barang boleh menyimpanginya dengan megnadakan perjanjian yang menentukan
sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang
tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang
berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang
berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.
Misalnya dalam Pasal 39 Undang-undang
No.1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
siding pengadilan berdasarkan alas an yang sah yang telah ditentukan.
BAB II HUKUM ORANG (Personenrecht)
1. Manusia Sebagai Subyek Hukum
A. Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah
gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai
pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup
bermasyarakat.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir
apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan
kewajiban dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
a. “Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan
si anak menghendakinya”.
b. “Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah
ia tidak pernah telah ada”.
B. Ketidak cakapan
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974);
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam
keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW);
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU
Kepailitan).
C. Pendewasaan
Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum
dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat
lembaga hukum pendewasaan (handlichting).
Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan
Keputusan Pengadilan Negeri.
D. Nama
Bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan, soal
nama mereka ini diatur dalam Buku I title II bagian kedua (Pasal 5a s.d 12)
yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama
depan. akan tetapi, dengan adanya Undang-undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur
tentanga penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur
dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
Nama itu merupakan identifikasi
seseorang sebagai subyek hukum. Bahkan, dari nama itu sudah dapat diketahui
keturunan siapa seorang yang
bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta
soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.
E. Tempat Tinggal
Selain daripada nama, untuk lebih jelas
lagi siapa yang mempunyai sesuatu hak dan/atau kewajiban serta dengan siapa
seseorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata ditentukan pula
tentang tempat tinggal (domisili).
Kepentingan adanya ketentuan tentang
dapat tinggal seseorang ini antara lain adalah untuk menyampingkan gugatan
perdata terhadap seseorang.
F. Keadaan Tidak Hadir
Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun
untuk waktu yang lama meninggalkan tempat
tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain
untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak di
tempat orang itu tidak menimbulkan persoalan.
Undang-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa
persiapan (Pasal 463 s.d. 466), masa yang berhubungan dengan pernyataan
bahwa, orang yang meninggalkan tempat itu
mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483) dan masa pewarisan secara definitive (Pasal 484).
2. Badan hukum Sebagai Subyek Hukum
A. Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan
satu-satunya subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada
subyek hukum lain yang sering disebut “badan hukum” (rechtspersoon).
Adanya badan hukum (rechtspersoon)
di samping manusia tunggal (natuurlijkpersoon)
adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan
di tengah-tengah masyarakat.
B. Teori-teori Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum
timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain
berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 macam teori saja yang sering
dikutip oleh penulis-penulis ahli hukum kita:
a.
Teori Fictie dari Von Savigny
b.
Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel
vermogents theorie)
c.
Teori Organ dari Otto van Gierke
d.
Teori Propriete Collective
e.
Teori Kenyataan Yuridis (juridishe Realiteitsleere)
C.
Pembagian Badan-badan Hukum
Menurut Pasal 1653 BW badan hukum
dapat dibagi atas 3 macam yaitu:
1. Badan hukum yang diadakan oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota, Bank-bank yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.
2. Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti P.T., koperasi, dan lain
sebagainya.
D. Peraturan Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
Bw tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam
BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III title IX Pasal
1653 s.d. 1665 dengan istilah “van
zedelijke lichamen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu, lalu diatur
dalam Bukum III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli
karena badan hukum adalah person, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I
tentang orang.
E. Syarat-syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan
usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut di bawah ini:
1. Adanya kekayaan yang terpisah
2. Mempunyai tujuan tertentu
3. Mempunyai kepentingan sendiri
4. Ada organisasi yang teratur
F. Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan badan hukum adalah subyek hukum yang tidak berjiwa
seperti manusia, sehingga badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum sendiri, melainkan diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Bagaimana
organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta
apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini ditentukan dalam
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan lainnya.
BAB III Hukum Keluarga (Familierecht)
1.
Perkawinan
A.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seoran
pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan
lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata.
Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan
ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang
bahagia dan kekal.
B.
Syarat-syarat Perkawinan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan
menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
6 s.d. 12 sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan kedua calon
mempelai;
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi
calon mempelai yang belum berusia 21 tahun;
3. Usia calon mempelai pria sudah
memcapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun;
4. Antara calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin;
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan
dengan pihak lain;
6. Bagi suami isteri yang telah
bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi
calon mempelai wanita yang janda.
C.
Pencatatan dan Tatacara Perkawinan
Setiap orang yang akan menglangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat
Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Kantor
Catatan Sipil atau Instansi/Pejabat yang membantunya.
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebut juga nama isteri atau suami terdahulu, wali nikah (bagi mereka yang
beragama islam) dan lain-lain. Setelah Pegawai Pencatat menerima pemberitahuan
akan melangsungkan perkawinan seperti diuraikan di atas ini, maka Pegawai
Pencatat Perkawinan yang bersangkutan harus melakukan penelitian. Tatacara perkawinan dilakukan menurut masing-masing
hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu.
D. Keabsahan Perkawinan
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Sah tidaknya suatu perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974
diukur dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang
melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan
memenuhi semua syarat dan rukun hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
E. Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau tidak memenuhi prosedur yang
ditentukan (Pasal 13 jo. 20). Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan
adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dank e bawah dari salah seorang calon mempelai;
2. Saudara dari salah seorang calon
mempelai;
3. Wali nikah dari salah seorang calon
mempelai;
4. Wali dari salah seorang calon
mempelai;
5. Pengampu dari salah seorang calon
mempelai;
6. Pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Suami atau isteri dari salah seorang
calon mempelai;
8. Pejabat yang ditunjuk.
F. Pembatalan Perkawinan
Pasal 22
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dalam
penjelasnya disebutkan:
“Pengertian ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bias
batal atau bias tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain”.
2. Akibat Hukum Perkawinan
A.
Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan
kewajiban suami isteri dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal
30 s.d. 34 yang menentukan secara garis besar sebagai berikut:
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;
2. Suami isteri wajib saling cinta meyintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
3. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
4. Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
5. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga
dengan sebaik-baiknya;
6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan
secara bersama.
B.
Harta Benda dalam Perkawinan
Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur
pada Pasal 35 s.d. 37.
Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri, serta harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama.
Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditentukan, apabila
perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan “hukumnya”
masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
C.
Kedudukan Anak
Meskipun menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak (keturunan) tidak
dijadikan tujuan perkawinan, tetapi tentang anak tetap dipandang sebagai hal
yang cukup penting, satu dan lain karena ini mempunyai kaitan erat dengan
perwarisan, sehingga tentang anak ini diatur secara khusus dalam Pasal 42 s.d.
44 dan Pasal 55.
Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda yang
ditinggalkan ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak dapat mewarisi harta
benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain, anak
yang lahir di luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan
keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
D. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
Dalam Pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua itu putus.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan menaati kehendak yan baik dari orang tuanya. Dan bilamana anak
telah dewasa, ia wajib memelihara
orang tuanya, dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan, anak juga
berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka
ini memerlukan bantuannya (Pasal 46).
E.
Perwalian
Perwalian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 50 s.d.
54. Akan tetapi, juga mempunyai kaitan yang erat dengan Pasal 48 dan 49 yang
mengatur tentang kekuasaan orang tua dan pembatasannya.
3. Putusnya Perkawinan
A.
Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 adalah:
1. Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena
matinya salah satu pihak (suami atau isteri). Sejak saat matinya salah satu
pihak itulah putusnya perkawinan terjadi yakni terjadi dengan sendirinya.
2. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinnyatakan talak oleh seorang suami
terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama islam.
3. Atas Keputusan Pengadilan
Putusan perkawinan atas keputusan Pengadilan adalah putusnya perkawinan
karena gugatan perceraian isteri
terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam atau karena
gugatan perceraian suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan menurut
agama dan kepercayaan bukan islam, gugatan perceraian mana dikabulkan
Pengadilan dengan suatu keputusan.
B.
Akibat Putusnya Perkawinan
Bila
perkawinan putus karena perceraian, bekas suami isteri yang bersangkutan yang
merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anak-anaknya.
BAB IV Hukum Benda (Zakenrecht)
1.
Pengertian Benda
Pengertian benda (zaak) secara
yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek
hak milik (Pasal 499 BW).
Menurut terminology benda di atas ini, benda berarti obyek sebagai lawan
dari subyek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum.
Istilah zaak dalam BW tidak selalu berarti benda, tetapi juga dipakai
dalam arti yang lain. Dalam Pasal 1792 BW zaak mempunyai arti perbuatan hukum; dalam Pasal 1354 BW
zaak berarti kepentingan; dan pada
Pasal 1263 BW zaak berarti kenyataan
hukum.
2. Pembedaan Macam-macam Benda
Menurut system Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam
BW benda dapat dibedakan atas:
a. Benda tidak bergerak dan benda
bergerak;
b. Benda yang musnah dan benda yang
tetap ada;
c. Benda yang dapat diganti dan benda
yang tidak dapat diganti;
d. Benda yang dapat dibagi dan benda
yang tidak dapat dibagi;
e. Benda yang diperdagangkan dan benda
yang tidak diperdagangkan.
3. Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan
Hukum benda yang termuat dalam Buku II BW Pasal
499 s.d. 1232 adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan
benda. Sedangkan hukum perikatan yang
termuat dalam Buku III BW Pasal 1233 s.d. 1864 adalah hukum yang mengatur
hubungan hukumm antara seseorang dengan seseorang yang lain. Hukum perikatan
ini sering juga disebut oleh para sarjana dengan hukum perjanjian, hukum persetujuan dan hukum perutangan.
4. Pembedaan Hak Kebendaan
Hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dapat dibedakan
atas 2 macam yaitu:
a. Hak Kebendaan yang bersifat memberi
kenikmatan.
b. Hak kebendaan yang bersifat memberi
jaminan.
5. Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Kenikmatan
A.
Bezit
Bezit adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai sesuatu
benda, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah benda itu
miliknya sendiri. Orang yang menguasai benda itu, yang bertindak seolah-olah
sebagai pemiliknya itu disebut bezitter.
B.
Hak Milik (Hak Eigendom)
Pengertian
hak milik (hak eigendom) disebutkan
dalam Pasal 570 BW yang menyatakan bahwa hak
milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya
dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berwenang menetapkannya, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak
orang lain.
C.
Hak Memungut Hasil (Vruchtgebruik)
Hak memungut
hasil adalah hak untuk menarik (memungut) hasil dari benda orang lain,
seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban untuk menjaga benda
tersebut tetap dalam keadaan seperti semula.
D. Hak Pakai dan Hak Mendiami
Di dalam
Pasal 818 BW hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan
hak kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil
(vruchtgebruik).
6. Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan
Sebagaimana telah diterangkan bahwa hak kebendaan yang diatur dalam BW
ada 2 macam yaitu hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak
kebendaan yang bersifat memberi jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberi
jaminan selalu tertuju terhadap benda orang lain, baik benda bergerak maupun
benda tidak bergerak. Berikut ini akan diuraikan secara garis besar tentang dan
sekitar hak-hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan tersebut.
A.
Hak Gadai (Pandrecht)
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur
atas suatu benda bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang
lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur
untuk mendapat pembayaran lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya atas
hasil penjualan benda jaminan (Pasal 1150 BW).
B. Jaminan Fidusia
Dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan,
bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1 angka 1).
C.
Hak Tanggungan
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut
UUHT dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
D. Hypotheek
Hipotik adalah hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan kepada
kreditur bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitur tepat pada waktu yang
dijanjikan. Apabila tidak, benda yang dibebani hipotik dapat dijual lelang dan
uang hasil pelelangan dipergunakan untuk membayar piutang kreditur pemegang hipotik
lebih dahulu daripada piutang kreditur-kreditur lainnya.
E.
Privilege (Piutang-piutang yang
Diistimewakan)
Apa yang dimaksud dengan privilege diterangkan
dalam Pasal 1134 yaitu suatu kedudukan istimewa yang diberikan undang-undang
kepada orang-orang yang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari
orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Pand dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada privilege, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Sedangkan pand dan hypotheek tidak
mempunyai kedudukan yang lebihn tinggi satu sama lain dan tidak pernah
bertentangan, karena benda yang menjadi obyeknya berbeda. Pand hanya dapat diberikan atas benda-benda bergerak saja,
sedangkan hypotheek hanya mungkin
terhadap benda-benda tidak bergerak.
BAB V Hukum Perikatan
1.
Istilah Dan Pengertian Perikatan
Istilah venbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam
kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan perutangan, ada yang menerjemahkan dengan perjanjian, dan ada pula yang menerjemahkan dengan perikatan.
Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi
dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan bukum antara dua pihak di dalam lapangan
harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan
pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.
2.
Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW dengan judul Van Verbintenissen (tentang perikatan) yang terdiri dari 18 Bab (titel)
ditambah dengan title VIII A dengan sistimatik sebagai berikut:
Bab I (Pasal
1233 s.d. 1312) tentang perikatan-perikatan pada umumnya;
Bab II (Pasal
1313 s.d. 1352) tentang perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian;
Bab III
(Pasal 1352 s.d. 1380) tentang perikatan-perikatan yang timbul karena
undang-undang;
Bab IV (Pasal
1381 s.d. 1456) tentang hapusnya perikatan-perikatan;
Bab V s.d.
XVIII ditambah Bab VII A (Pasal 1457 s.d. 1864) tentang perjanjian-perjanjian
khusus.
3.
Sumber-sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian dan
undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam title II
(Pasal 1313 s.d. 1351) dan title V s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III
BW. Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam title
III (Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.
4.
Syarat-syarat Perjanjian
Syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian disebutkan
dalam Pasal 1320 BW yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
5.
Macam-macam Perikatan
A.
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum
Perdata perikatan
dapat dibedakan atas beberapa macam.
1.
Menurut isi daripada prestasinya;
2.
Menurut subyeknya;
3.
Menurut mulai berlakunya dan
berakhirnya.
B.
Menurut undang-undang perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam
sebagai berikut di bawah ini:
a. Perikatan bersyarat;
b. Perikatan dengan ketetapan waktu;
c. Perikatan manasuka (alternatif);
d. Perikatan tanggung-menanggung;
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang
tidak dapat dibagi;
f.
Periaktan
dengan ancaman hukuman.
6.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Prestasi merupakan isi daripada perikatan. Apabila debitur tidak
memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia
dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam yaitu:
a. Samasekali tidak memenuhi prestasi;
b. Tidak tunai memenuhi prestasi;
c. Terlambat memenuhi prestasi;
d. Keliru memenuhi prestasi.
7.
Penggantian Kerugian
Ketentuan tentang ganti rugi dalam BW diatur pada Pasal 1243 s.d. 1252.
Dari pasal-pasal itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat
dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan
untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
8.
Pembatalan Perjanjian
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi
syarat subyektif dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi, pemabatalan yang
dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat
dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi.
Ada 3 syarat
yang harus dipenuhi untuk terjadinya pembatalan perjanjian yaitu:
(1) Perjanjian harus bersifat
timbal-balik;
(2) Harus ada wanprestasi;
(3) Harus dengan keputusan hakim.
9.
Overmacht (Keadaan Memaksa)
Overmacht sering juga disebut force
majeure yang lazim diterjemahkan dengan keadaan
memaksa dan ada pula yang menyebutnya dengan sebab kahar.
Walaupun pengertian overmacht tidak
dirumuskan dalam pasal undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang
terkandung dalam pasal-pasal BW yang mengatur overmacht tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa overmacht adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana
suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa
tidak diindahkan sebagaimana mestinya.
Kini para sarjana biasanya membedakan overmacht
atas 2 macam yaitu overmacht yang
bersifat mutlak (absolut) dan overmacht
yang bersifat nisbi (relatif).
10. Exceptio Non Adempleti Contractus dan Rechtsverwerking
A. Exceptio Non Adempleti Contractus
Pada setiap
perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak
dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada asas bahwa kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian harus sama-sama memenuhi kewajibannya
dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, adalah tidak logis apabila salah
satu pihak menunduh wanprestasi terhadap
pihak lain sedangkan ia sendiri dalam keadaan wanprestasi.
B. Rechtsverwerking
Rechtverwerking (pelepasan hak) adalah sikap
dari pihak kreditur baik berupa pernyataan secara tegas maupun secara diam-diam
bahwa ia tidak menuntut lagi terhadap debitur apa-apa yang merupakan haknya.
11. Pelaksanaan Perjanjian
A. Arti melaksanakan perjanjian
Salah satu
aspek yang amat penting dalam perjanjian adalah pelaksanaan perjanjian itu
sendiri. Bahkan, dapat dikatakan justru pelaksanaan perjanjian inilah yang
menjadi tujuan orang-orang yang mengadakan perjanjian. Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya
apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena
itu, melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain yakni pihak yang berhak atas
pelaksanaan perjanjian tersebut.
B.
Penafsiran Perjanjian
Sebelum suatu
perjanjian dilaksanakan, sudah tentu pihak-pihak yang akan melaksanakan telah
mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang menjadi kewajibannya di samping
apa yang menjadi haknya.
Dalam praktek
masyarakat seringkali dalam membuat perjanjian hanya mengatur hal-hal yang
pokok dan yang penting saja, tidak mengatur hak-hak dan kewajiban mereka secara
detail.
C. Itikad baik dalam melaksanakan
perjanjian
Dalam rangka
pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik sungguh mempunyai arti yang sangat
penting sekali. Bahkan, oleh Prof. R.
Subekti, S.H. dalam bukunya Hukum
Perjanjian itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting
dalam hukum perjanjian.
D. Hakim berkuasa menyimpangi isi
perjanjian
Di Indonesia
sudah dianut suatu anggaran bahwa berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, hakim
diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar keadilan dan keputusan. Hakim berkuasa untuk
menyimpang daripada isi perjanjian menurut susunan kata-katanya, manakala
pelaksanaan yang demikian itu bertentangan dengan rasa keadilan.
12. Perikatan yang Bersumber dari Undang-undang
Perikatan yang bersumber dari undang-undang pada Buku III BW diatur dalam
title III (Pasal 1352 s.d. 1380). Namun, ketentuan-ketentuan ini bukan sebagai ketentuan umum perikatan yang bersumber dari undang-undang, seperti
halnya dalam title II mengenai perikatan yang bersumber dari perjanjian,
melainkan hanya mengatur beberapa jenis perikatan yaitu zaakwaarneming, onverschuldigde betaling dan onrechtmatige daad. Selain itu, juga disinggung tentang natuurlijke verbintenis.
A. Zaakwaarneming
B. Pembayaran yang tidak diwajibkan
C. Natuurlijke verbintenis
D. Perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige daad)
13. Hapusnya Perikatan
Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam BW disebutkan pada
Pasal 1380 adalah:
(1) Karena pembayaran;
(2) Karena penawaran pembayaran tunai,
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
(3) Karena pembaharuan utang;
(4) Karena perjumpaan utang atau
kompensasi;
(5) Karena percampuran utang;
(6) Karena pembebasan utang;
(7) Karena musnahnya barang yang
terutang;
(8) Karena kebatalan dan pembatalan;
(9) Karena berlakunya syarat batal;
(10)
Karena
lewat waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar