Senin, 11 Februari 2013

Materi Seluk Beluk Hukum Perdata



BAB I PENDAHULUAN
1.      Pengertian Hukum Perdata
Apa yang dimaksud dengan hukum perdata? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus lebih dahuku membedakan hukum perdata itu atas dua macam, yaitu hukum perdata materil dan hukum perdata formil. Hukum perdata materil lazim disebut hukum perdata saja, sedangkan hukum perdata formil lazim disebut hukum acara perdata. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan  hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Secara umum dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi).
Kendatipun hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan, tidak berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena perkembangan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum public, misalnya bidang perkawinan, perburuhan, dan sebagainya.
Hukum perdata ini ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum perdata yang tertulis ialah hukum perdata yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis ialah Hukum adat.
2.      Hukum Perdata di Indonesia

Hukum Perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis). Masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia sebenarnya sedah berlangsung lama.
Keanekaragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga golongan yaitu :
a.      Golongan Eropa, ialah: (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub. b dan c yang lahir di Hindia Belanda.
b.      Golongan Bumiputra, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli.
c.       Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.
Dalam Pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negeri Belanda (yaitu hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumiputra dan Timur Asing) berlaku hukum adatnya masing-masing. sejak tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga dan hukum waris.
Beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia asli (Bumiputra) seperti ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia yang disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No. 717).
Peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan misalnya undang-undang hak pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan umum tentang koperasi (Stb. 1933 No. 108), Woeker ordonansi (Stb. 1938 No. 523), dan ordonansi tentang Pengangkutan di Udara (Stb. 1938 No. 100). Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri, yaitu penundukan kepada seluruh hukum perdata Eropa (yang diatur dalam Pasal 18-25), penundukan diri pada perbuatan hukum tertentu (yang diatur dalam Pasal 29). Lembaga penundukan diri yang diatur dalam Stb. 1917 No. 12 ini sebenarnya lebih ditujukan bagi golongan Bumiputra, sedangkan bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79 tanggal 8 Desember 1855 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925.

3.      Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropa

Dalam Undang-undang Dasar 1945, konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 ada dimuat aturan peralihan. Salah satu maksud diadakannya aturan peralihan ini ialah untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan perundang-undangan yang ada pada saat undang-undang dasar tersebut diberlakukan.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menentukan :
Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden megnadakan dan mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945. Dalam penjelasan Peraturan pemerintah No. 2 Tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakannya Peraturan Pemerintah tersebut adalah untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Yang dipertahankan oleh aturan peralihan bukan IS sebagai kodifikasi, tetapi hanyalah aturan-aturannya yang lepas dari ikatannya sebagai kodifikasinya, sepanjang aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian yang menjadi dasar berlakunya hukum perdata barat itu hingga sekarang adalah aturan-aturan peralihan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara 1950.

4.      Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata (BW)

Sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum perdata (BW) tidak bisa terpisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. Dan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum perdata Belanda tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis.

5.      Kedudukan BW pada Waktu Sekarang

Bagaimana kedudukan BW (Burgerlijk Wetboek) pada waktu sekarang ? Apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai sebuah kitab undang-undang (kodifikasi) di negara Republik Indonesia yang sudah merdeka ini?
Sahardjo, S.H. tersebut, Prof. Mahadi, S.H. berpendapat sebagai berikut di bawah ini:
a.      BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi;
b.      Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana kemerdekaan;
c.       Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
d.      Tidak setuju suatu tindakan legislative untuk menyatakan tertulis. Tegasnya, tidak setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat).
Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai wetboek, tetapi rechtboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam prasarannya yang berjudul: “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”.
6.      Bidang-bidang Hukum Perdata dan Sistimatiknya
Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan lazimnya dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.      Hukum perorangan/badan pribadi (personenrecht);
2.      Hukum  Keluarga (familierecht);
3.      Hukum harta kekayaan (vermogenrecht);
4.      Hukum waris (erfrecht).
Hukum perorangan/badan pribadi memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum), tentang umur, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal (domisili) dan sebagainya.
Hukum keluarga memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan anak, perwalian, curatele, dan sebagainya.
Hukum harta kekayaan memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukumk seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian, milik, gadai dan sebagainya.
Hukum waris memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (ahli waris).
7.      Bagian-bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti mulai diberlakukan pada tangga 1 Mei 1848, tetapi beberapa bagian ketentuan yang terdapat di dalamnya sudah tidak berlaku lagi. Undang-undang nasional di lapangan perdata yang pertama kali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undnag-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan berlakunya UUPA itu, maka berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen Agraria tanggal 26 Februari 1964 No. Unda 10/3/29 dapat dirinci atas 3 macam :
a.      Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b.      Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu mengatur tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c.       Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yagn terkandung di dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.
8.      Hukum Perdata yang Bersifat Pelengkap dan Bersikap Memaksa
Menurut ketentuan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya.
Misalnya dalam Pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu barang boleh menyimpanginya dengan megnadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.
Misalnya dalam Pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan berdasarkan alas an yang sah yang telah ditentukan.











BAB II HUKUM ORANG (Personenrecht)
1.      Manusia Sebagai Subyek Hukum
A.      Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
a.      “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.
b.      “Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”.
B.      Ketidak cakapan
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
a.      Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974);
b.      Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW);
c.       Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
C.      Pendewasaan
Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting). Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
D.  Nama
Bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I title II bagian kedua (Pasal 5a s.d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. akan tetapi, dengan adanya Undang-undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentanga penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
Nama itu merupakan identifikasi seseorang sebagai subyek hukum. Bahkan, dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.
E.   Tempat Tinggal
Selain daripada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai sesuatu hak dan/atau kewajiban serta dengan siapa seseorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili).
Kepentingan adanya ketentuan tentang dapat tinggal seseorang ini antara lain adalah untuk menyampingkan gugatan perdata terhadap seseorang.
F.    Keadaan Tidak Hadir
Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak di tempat orang itu tidak menimbulkan persoalan.
Undang-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (Pasal 463 s.d. 466), masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa, orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483) dan masa pewarisan secara definitive (Pasal 484).
2.      Badan hukum Sebagai Subyek Hukum
A.   Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subyek hukum lain yang sering disebut “badan hukum” (rechtspersoon).
Adanya badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia tunggal (natuurlijkpersoon) adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
B.   Teori-teori Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 macam teori saja yang sering dikutip oleh penulis-penulis ahli hukum kita:
a.      Teori Fictie dari Von Savigny
b.      Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel vermogents theorie)
c.       Teori Organ dari Otto van Gierke
d.      Teori Propriete Collective
e.      Teori Kenyataan Yuridis (juridishe Realiteitsleere)
C.   Pembagian Badan-badan Hukum
Menurut Pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 macam yaitu:
1.      Badan hukum yang diadakan oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Bank-bank yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.
2.      Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3.      Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti P.T., koperasi, dan lain sebagainya.
D.  Peraturan Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
Bw tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III title IX Pasal 1653 s.d. 1665 dengan istilah “van zedelijke lichamen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu, lalu diatur dalam Bukum III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah person, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I tentang orang.
E.   Syarat-syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai berikut di bawah ini:
1.      Adanya kekayaan yang terpisah
2.      Mempunyai tujuan tertentu
3.      Mempunyai kepentingan sendiri
4.      Ada organisasi yang teratur
F.    Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan badan hukum adalah subyek hukum yang tidak berjiwa seperti manusia, sehingga badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan lainnya.




BAB III Hukum Keluarga (Familierecht)
1.      Perkawinan
A.   Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seoran pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata.
Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
B.   Syarat-syarat Perkawinan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s.d. 12 sebagai berikut:
1.      Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
2.      Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun;
3.      Usia calon mempelai pria sudah memcapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun;
4.      Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin;
5.      Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
6.      Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;
7.      Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
C.   Pencatatan dan Tatacara Perkawinan
Setiap orang yang akan menglangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Kantor Catatan Sipil atau Instansi/Pejabat yang membantunya.
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebut juga nama isteri atau suami terdahulu, wali nikah (bagi mereka yang beragama islam) dan lain-lain. Setelah Pegawai Pencatat menerima pemberitahuan akan melangsungkan perkawinan seperti diuraikan di atas ini, maka Pegawai Pencatat Perkawinan yang bersangkutan harus melakukan penelitian. Tatacara perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu.
D.  Keabsahan Perkawinan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Sah tidaknya suatu perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 diukur dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi semua syarat dan rukun hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
E.   Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau tidak memenuhi prosedur yang ditentukan (Pasal 13 jo. 20). Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan adalah:
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah dari salah seorang calon mempelai;
2.      Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3.      Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
4.      Wali dari salah seorang calon mempelai;
5.      Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6.      Pihak-pihak yang berkepentingan;
7.      Suami atau isteri dari salah seorang calon mempelai;
8.      Pejabat yang ditunjuk.
F.    Pembatalan Perkawinan
Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dalam penjelasnya disebutkan:
“Pengertian ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bias batal atau bias tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain”.
2.      Akibat Hukum Perkawinan
A.   Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 30 s.d. 34 yang menentukan secara garis besar sebagai berikut:
1.      Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;
2.      Suami isteri wajib saling cinta meyintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
3.      Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
4.      Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
5.      Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya;
6.      Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.
B.   Harta Benda dalam Perkawinan
Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 35 s.d. 37.
Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama.
Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditentukan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
C.   Kedudukan Anak
Meskipun menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak (keturunan) tidak dijadikan tujuan perkawinan, tetapi tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan lain karena ini mempunyai kaitan erat dengan perwarisan, sehingga tentang anak ini diatur secara khusus dalam Pasal 42 s.d. 44 dan Pasal 55.
Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain, anak yang lahir di luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
D.  Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
Dalam Pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan menaati kehendak yan baik dari orang tuanya. Dan bilamana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya, dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan, anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46).
E.   Perwalian
Perwalian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 50 s.d. 54. Akan tetapi, juga mempunyai kaitan yang erat dengan Pasal 48 dan 49 yang mengatur tentang kekuasaan orang tua dan pembatasannya.
3.      Putusnya Perkawinan
A.   Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah:
1.      Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri). Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan terjadi yakni terjadi dengan sendirinya.
2.      Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinnyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama islam.
3.      Atas Keputusan Pengadilan
Putusan perkawinan atas keputusan Pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan perceraian isteri terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam atau karena gugatan perceraian suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan bukan islam, gugatan perceraian mana dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan.
B.   Akibat Putusnya Perkawinan
Bila perkawinan putus karena perceraian, bekas suami isteri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anak-anaknya.







BAB IV Hukum Benda (Zakenrecht)

1.      Pengertian Benda
Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak milik (Pasal 499 BW).
Menurut terminology benda di atas ini, benda berarti obyek sebagai lawan dari subyek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum.
Istilah zaak dalam BW tidak selalu berarti benda, tetapi juga dipakai dalam arti yang lain. Dalam Pasal 1792 BW zaak mempunyai arti perbuatan hukum; dalam Pasal 1354 BW zaak berarti kepentingan; dan pada Pasal 1263 BW zaak berarti kenyataan hukum.
2.      Pembedaan Macam-macam Benda
Menurut system Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibedakan atas:
a.   Benda tidak bergerak dan benda bergerak;
b.   Benda yang musnah dan benda yang tetap ada;
c.    Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti;
d.   Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi;
e.   Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan.
3.      Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan
Hukum benda yang termuat dalam Buku II BW Pasal 499 s.d. 1232 adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Sedangkan hukum perikatan yang termuat dalam Buku III BW Pasal 1233 s.d. 1864 adalah hukum yang mengatur hubungan hukumm antara seseorang dengan seseorang yang lain. Hukum perikatan ini sering juga disebut oleh para sarjana dengan hukum perjanjian, hukum persetujuan dan hukum perutangan.
4.      Pembedaan Hak Kebendaan
Hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dapat dibedakan atas 2 macam yaitu:
a.   Hak Kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan.
b.   Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
5.      Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Kenikmatan
A.   Bezit
Bezit adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai sesuatu benda, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri. Orang yang menguasai benda itu, yang bertindak seolah-olah sebagai pemiliknya itu disebut bezitter.
B.   Hak Milik (Hak Eigendom)
Pengertian hak milik (hak eigendom) disebutkan dalam Pasal 570 BW yang menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang menetapkannya, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain.
C.   Hak Memungut Hasil (Vruchtgebruik)
Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik (memungut) hasil dari benda orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula.
D.  Hak Pakai dan Hak Mendiami
Di dalam Pasal 818 BW hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil (vruchtgebruik).
6.      Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan
Sebagaimana telah diterangkan bahwa hak kebendaan yang diatur dalam BW ada 2 macam yaitu hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu tertuju terhadap benda orang lain, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Berikut ini akan diuraikan secara garis besar tentang dan sekitar hak-hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan tersebut.
A.   Hak Gadai (Pandrecht)
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda jaminan (Pasal 1150 BW).
B.   Jaminan Fidusia
Dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan, bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1 angka 1).
C.   Hak Tanggungan
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut UUHT dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
D.  Hypotheek
Hipotik adalah hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitur tepat pada waktu yang dijanjikan. Apabila tidak, benda yang dibebani hipotik dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipergunakan untuk membayar piutang kreditur pemegang hipotik lebih dahulu daripada piutang kreditur-kreditur lainnya.
E.   Privilege (Piutang-piutang yang Diistimewakan)
Apa yang dimaksud dengan privilege diterangkan dalam Pasal 1134 yaitu suatu kedudukan istimewa yang diberikan undang-undang kepada orang-orang yang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Pand dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada privilege, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sedangkan pand dan hypotheek tidak mempunyai kedudukan yang lebihn tinggi satu sama lain dan tidak pernah bertentangan, karena benda yang menjadi obyeknya berbeda. Pand hanya dapat diberikan atas benda-benda bergerak saja, sedangkan hypotheek hanya mungkin terhadap benda-benda tidak bergerak.


BAB V Hukum Perikatan


1.      Istilah Dan Pengertian Perikatan
Istilah venbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan perutangan, ada yang menerjemahkan dengan perjanjian, dan ada pula yang menerjemahkan dengan perikatan.
Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan bukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.
2.      Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW dengan judul Van Verbintenissen (tentang perikatan) yang terdiri dari 18 Bab (titel) ditambah dengan title VIII A dengan sistimatik sebagai berikut:
Bab I (Pasal 1233 s.d. 1312) tentang perikatan-perikatan pada umumnya;
Bab II (Pasal 1313 s.d. 1352) tentang perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian;
Bab III (Pasal 1352 s.d. 1380) tentang perikatan-perikatan yang timbul karena undang-undang;
Bab IV (Pasal 1381 s.d. 1456) tentang hapusnya perikatan-perikatan;
Bab V s.d. XVIII ditambah Bab VII A (Pasal 1457 s.d. 1864) tentang perjanjian-perjanjian khusus.
3.      Sumber-sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam title II (Pasal 1313 s.d. 1351) dan title V s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III BW. Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam title III (Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.
4.      Syarat-syarat Perjanjian
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 BW yaitu:
a.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c.       Suatu hal tertentu;
d.      Suatu sebab yang halal.
5.      Macam-macam Perikatan
A.      Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam.
1.      Menurut isi daripada prestasinya;
2.      Menurut subyeknya;
3.      Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya.
B.      Menurut undang-undang perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam sebagai berikut di bawah ini:
a.      Perikatan bersyarat;
b.      Perikatan dengan ketetapan waktu;
c.       Perikatan manasuka (alternatif);
d.      Perikatan tanggung-menanggung;
e.      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi;
f.        Periaktan dengan ancaman hukuman.
6.      Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi daripada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam yaitu:
a.      Samasekali tidak memenuhi prestasi;
b.      Tidak tunai memenuhi prestasi;
c.       Terlambat memenuhi prestasi;
d.      Keliru memenuhi prestasi.
7.      Penggantian Kerugian
Ketentuan tentang ganti rugi dalam BW diatur pada Pasal 1243 s.d. 1252. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
8.      Pembatalan Perjanjian
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi, pemabatalan yang dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi.
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pembatalan perjanjian yaitu:
(1)   Perjanjian harus bersifat timbal-balik;
(2)   Harus ada wanprestasi;
(3)   Harus dengan keputusan hakim.
9.      Overmacht (Keadaan Memaksa)
Overmacht sering juga disebut force majeure yang lazim diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada pula yang menyebutnya dengan sebab kahar.
Walaupun pengertian overmacht tidak dirumuskan dalam pasal undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang terkandung dalam pasal-pasal BW yang mengatur overmacht tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa overmacht adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya.
Kini para sarjana biasanya membedakan overmacht atas 2 macam yaitu overmacht yang bersifat mutlak (absolut) dan overmacht yang bersifat nisbi (relatif).
10.  Exceptio Non Adempleti Contractus dan Rechtsverwerking
A.     Exceptio Non Adempleti Contractus
Pada setiap perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada asas bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus sama-sama memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, adalah tidak logis apabila salah satu pihak menunduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri dalam keadaan wanprestasi.
B.      Rechtsverwerking
Rechtverwerking (pelepasan hak) adalah sikap dari pihak kreditur baik berupa pernyataan secara tegas maupun secara diam-diam bahwa ia tidak menuntut lagi terhadap debitur apa-apa yang merupakan haknya.
11.  Pelaksanaan Perjanjian
A.     Arti melaksanakan perjanjian
Salah satu aspek yang amat penting dalam perjanjian adalah pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan justru pelaksanaan perjanjian inilah yang menjadi tujuan orang-orang yang mengadakan perjanjian. Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu, melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut.
B.      Penafsiran Perjanjian
Sebelum suatu perjanjian dilaksanakan, sudah tentu pihak-pihak yang akan melaksanakan telah mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang menjadi kewajibannya di samping apa yang menjadi haknya.
Dalam praktek masyarakat seringkali dalam membuat perjanjian hanya mengatur hal-hal yang pokok dan yang penting saja, tidak mengatur hak-hak dan kewajiban mereka secara detail.

C.      Itikad baik dalam melaksanakan perjanjian
Dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Bahkan, oleh Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya Hukum Perjanjian itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian.
D.     Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian
Di Indonesia sudah dianut suatu anggaran bahwa berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar keadilan dan keputusan. Hakim berkuasa untuk menyimpang daripada isi perjanjian menurut susunan kata-katanya, manakala pelaksanaan yang demikian itu bertentangan dengan rasa keadilan.
12.  Perikatan yang Bersumber dari Undang-undang
Perikatan yang bersumber dari undang-undang pada Buku III BW diatur dalam title III (Pasal 1352 s.d. 1380). Namun, ketentuan-ketentuan ini bukan sebagai ketentuan umum perikatan yang bersumber dari undang-undang, seperti halnya dalam title II mengenai perikatan yang bersumber dari perjanjian, melainkan hanya mengatur beberapa jenis perikatan yaitu zaakwaarneming, onverschuldigde betaling dan onrechtmatige daad. Selain itu, juga disinggung tentang natuurlijke verbintenis.
A.      Zaakwaarneming
B.      Pembayaran yang tidak diwajibkan
C.      Natuurlijke verbintenis
D.     Perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige daad)
13.  Hapusnya Perikatan
Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam BW disebutkan pada Pasal 1380 adalah:
(1)   Karena pembayaran;
(2)   Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
(3)   Karena pembaharuan utang;
(4)   Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
(5)   Karena percampuran utang;
(6)   Karena pembebasan utang;
(7)   Karena musnahnya barang yang terutang;
(8)   Karena kebatalan dan pembatalan;
(9)   Karena berlakunya syarat batal;
(10)           Karena lewat waktu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar