Selasa, 14 Mei 2013

MATERI : PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN



MATERI : PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN

            Pewarisan Anak Luar Kawin yang Diakui diatur dalam Bab XII bagian III Buku II KUHPerdata. Hal yang diatur adalah mengenai pewarisan anak luar kawin, baik dalam hal anak luar kawin yang diakui bertindak sebagai ahli waris (hak waris aktif) maupun dalam hal anak luar kawin berkedudukan sebagai Pewaris (hak waris pasif).
A.    Pengakuan Anak Luar Kawin Sepanjang Perkawinan
Anak luar kawin baru dapat mewaris kalau mempunyai hubungan hukum dengan Pewaris. Hubungan hukum itu timbul dengan dilakukannya pengakuan.
Pasal 285 KUHPerdata menentukan :
“ Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka”.
                        Pengakuan sepanjang perkawinan, maksudnya pengakuan yang dilakukan suami atau istri yang mengakui anak itu sewaktu dalam suatu ikatan perkawinan.
                        Jadi, ayah atau ibu si anak luar kawin dapat mengakui anak luar kawinnya, walaupun dia terkait dalam suatu perkawinan, tetapi anak tersebut harus dibuahi ketika ayah dan ibunya tidak berada dalam status menikah. Pengakuan tersebut tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan.
                        Kalau pengakuan tidak merugikan istri/suami dalam perkawinan si orang tua yang mengakuinya terikat, dan tidak merugikan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, maka pengakuan itu dapat menguntungkan anak luar kawin tersebut, artinya anak luar kawin tersebut dapat mewaris dari orang tua yang mengakuinya.
B.     Hak Waris Aktif Anak Luar Kawin (yang diakui)
Diatur dalam Pasal 862 KUHPerdata sampai Pasal 866 KUHPerdata dan Pasal 873 ayat (1). Ahli waris anak luar kawin timbul jika Pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut.
                         Undang-undang tidak secara tegas mengatur mengenai siapa yang dimaksud dengan anak luar kawin tersebut.
Pasal 272 KUHPerdata menentukan:
“Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak sumbang”.
                        Anak Luar Kawin dalam arti luas, meliputi anak zina, anak sumbang, anak luar kawin yang lain. Anak yang lahir sesudah ayahnya meninggal atau bercerai, belum tentu anak luar kawin, karena jika anak itu dibenihkan selama ibunya dalam perkawinan yang sah, dan dilahirkan dalam jangka waktu 300 hari sesudah putusnya perkawinan yang sah (Pasal 255 KUHPerdata).
                        Anak luar kawin adalah anak luar kawin di luar anak sumbang dan anak zina. Jadi, pengertian anak luar kawin adalah dalam arti sempit, yang diartikan tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin dalam arti sempit ini dapat mempunyai hubungan hukum dengan Pewaris, yaitu dengan diakuinya anak luar kawin tersebut.
                        Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam KUHPerdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan Pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya, timbul sesudah ada pengakuan dari ayah ibunya tersebut. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang mengakuinya.
C.    Besarnya bagian anak luar kawin
Anak Luar Kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.
Berikut ini penjelasan mengenai bagian yang diterima oleh anak luar kawin yang diakui yang mewaris dengan Golongan I,II,III, dan IV.
1.      Anak Luar Kawin yang Diakui mewaris bersama Golongan Pertama
Diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata:
Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui  mewaris 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah.
2.      Anak Luar Kawin mewaris bersama ahli waris Golongan II
Pasal 863 KUHPerdata menentukan:
“Jika Pewaris tidak meninggalkan keturunan, suami istri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun saudara laki-laki maupun perempuan atau keturunan saudara, maka mereka menerima ½ dari warisan”.
Dengan demikian berdasarkan perumusan Pasal 863 KUHPerdata, maka:
“Apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris Golongan II atau Golongan III maka mereka mendapat ½ warisan”.
3.      Anak luar kawin mewaris bersama Golongan III
4.      Anak luar kawin mewaris bersama dengan ahli waris Golongan IV
Pasal 863 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa, jika hanya ada sanak saudara dalam derajat lebih jauh ¾.
Maksud dari sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh adalah ahli waris Golongan IV.
Jadi anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, besarnya bagian anak luar kawin ¾.
Pasal 863 ayat (2) KUHPerdata menentukan kemungkinan adanya anak luar kawin yang mewaris bersama-sama dengan anggota keluarga yang berhubungan darah dalam perderajatan yang berlainan.
Kemungkinan itu terjadi dalam hal terjadi kloving, dimana masing-masing bagian dalam kloving diperlakukan seakan-akan suatu warisan yang berdiri sendiri. Dalam Pasal 863 ayat (2) KUHPerdata dihitung dengan melihat kelurga yang terdekat hubungan perderajatannya dengan Pewaris.
5.      Anak luar kawin sebagai ahli waris satu-satunya
Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa Pewaris tidak meninggalkan ahli waris selain anak luar kawin tersebut. Pasal 865 KUHPerdata secara garis besar menentukan bahwa anak luar kawin mewaris seluruh harta warisan.
6.      Anak luar kawin dan penggantian tempat
Seandainya seorang anak luar kawin yang diakui meninggal dunia lebih dahulu dari Pewaris, dengan meninggalkan keturunan sah, maka keturunan dari anak luar kawin tersebut menggantikan kedudukannya sebagai ahli waris.
Dalam hal ini yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa keturunan anak luar kawin tersebut adalah hanya keturunan yang sah.
7.      Anak sumbang dan anak zina
Pasal 867 KUHPerdata menentukan bahwa peraturan mengenai hukum waris anak luar kawin tidak berlaku bagi anak yang dibenihkan karena zina atau dalam sumbang. Oleh karena tidak diatur maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak berhak mewaris.
Kepada anak zina dan anak sumbang undang-undang tidak memberikan hak waris, tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak menuntut pemberian nafkah seperlunya (Pasal 867 ayat 2), yang besarnya tidak tentu tergantung dari besarnya kemampuan ayah atau ibu dan keadaan para ahli waris yang sah.
D.    Hukum Waris Pasif Anak Luar Kawin yang Diakui
Hukum waris pasif, artinya warisan seorang anak luar kawin yang diakui, dalam hal anak luar kawin menjadi Pewaris, diatur dalam Pasal 870,871, dan Pasal 873 ayat (2) dan (3) KUHPerdata.
Pasal 870 KUHPerdata menentukan:
“Warisan anak luar kawin adalah untuk sekalian keturunan dan suami atau istrinya”.
                        Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 870 KUHPerdata tersebut, maka apabila ada anak luar kawin meninggal tanpa suami atau istri maupun keturunan maka berlaku Pasal 870. Jadi, kalau anak luar kawin meninggal ada keturunan dan suami atau istri maka Pasal 870 KUHPerdata baru berlaku.
                        Dalam hal anak luar kawin meninggal dunia, maka anak luar kawin dianggap Pewaris biasa, sama dengan Pewaris lain. Dalam hal ini, juga berlaku penggantian tempat dalam hal keturunan seorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu dari si Pewaris (anak luar kawin).






Jumat, 10 Mei 2013

Hukum Koperasi Indonesia



Judul                           : Hukum Koperasi Indonesia
Pengarang                  : Andjar Pachta W; et all
Penerbit                     : Kencana

DAFTAR ISI

BAB I               PEMAHAMAN DASAR MENGENAI KOPERASI
A.      Ideologi Perekonomian
1.      Ideologi Perekonomian Kapitalis
2.      Ideologi Perekonomian Sosialis
3.      Ideologi Koperasi
B.      Pengertian Koperasi
C.      Hakikat Koperasi
1.      Tujuan Koperasi
2.      Sifat Koperasi
3.      Nilai dan Prinsip-prinsip Koperasi Nilai-nilai Koperasi
4.      Jenis Koperasi
D.     Sejarah Awal Koperasi
1.      Koperasi Pertama di Dunia
2.      Koperasi Kedua di Dunia
3.      Koperasi Rochdale-Inggris
4.      Robert Owen, William King, dan Charles Howard
E.      Sejarah Awal Koperasi Indonesia
F.       Koperasi dalam Cabang Ilmu (Pengetahuan) Hukum
1.      Objek
2.      Metode
3.      Sistematika
BAB II              KRONOLOGI DAN SEJARAH REGULASI TENTANG KOPERASI DI INDONESIA
A.      Kronologi dan Sejarah Regulasi Koperasi Sebelum UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
1.      Verordening op de Cooperative Verenigingen (Staatsblad 431 Tahun 1915)
2.      Regeling Inlanndsche Cooperatieve Verenigingen (Saatsblad No. 91 Tahun 1927)
3.      Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen Stb. 108 Tahun 1933
4.      Regeling Cooperatieve Verenigingen (Staatsblad 179 Tahun 1949)
5.      Undang-undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958
6.      Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi
7.      Instruksi Presiden No. 2 dan No. 3 Tahun 1960
8.      UU Perkoperasian No. 14 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Perkoperasian
9.      UU No.12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian
B.      Kronologi dan Sejarah Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
BAB III             PENDIRIAN KOPERASI DAN STATUS BADAN HUKUM
A.      Koperasi adalah Subjek Hukum: Persoomnrecht
B.      Aspek Hukum Perikatan dalam Pendirian Koperasi
C.      Tujuan Pendirian, Rencana Usaha, Bentuk, dan Jenis Koperasi
1.      Tujuan Pendirian Koperasi
2.      Rencana Usaha, Bentuk, dan Jenis Koperasi
D.     Syaratr-syarat Pendirian
E.      Modal Dasar Pendirian
F.       Nama dan Domisili Koperasi
G.     Jangka Waktu Berdirinya Koperasi
H.     Pengesahan dan Penolakan Akta Pendirian oleh Otoritas Perkoperasian
I.        Perolehan Status Badan Hukum
J.        Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Merupakan Aturan Main dalam sebuah Koperasi
K.      Perubahan Anggaran Dasar Koperasi
1.      Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Sebelum Koperasi Berstatus Badan Hukum
2.      Perubahan Anggaran Dasar Setelah Koperasi Berstatus Badan Hukum
BAB IV             MODAL-MODAL DAN PRINSIP KEUANGAN
A.      Pengertian Modal dalam Koperasi
1.      Karateristik Koperasi
2.      Peruntukan Modal
3.      Sumber Modal
a.      Secara Langsung
b.      Secara Tidak Langsung
B.      Modal Koperasi
1.      Modal Dasar
2.      Modal Sendiri
a.      Simpanan Pokok
b.      Simpanan Wajib
c.       Dana Cadangan
d.      Hibah
3.      Modal Pinjaman
a.      Pinjaman dari Anggota
b.      Pinjaman dari Koperasi lain
c.       Pinjaman dari Lembaga Keuangan
d.      Obligasi dan Surat Utang
e.      Sumber Keuangan Lain
C.      Modal Penyertaan
D.     Sisa Hasil Usaha (SHU)
1.      SHU Koperasi Pemasaran
2.      SHU Koperasi Pembelian
3.      SHU Koperasi Simpan Pinjam
E.      Prinsip Keuangan
1.      Equity atau Ekuitas
2.      Modal Penyertaan
3.      Modal Sumbangan
4.      Dana Cadangan
5.      Sisa Hasil Usaha
6.      Kewajiban
7.      Aktiva
8.      Transaksi Usaha Koperasi
9.